Semua Pernah Salah
Memaafkan memang bukanlah perkara yang gampang. Namun, satu renungan pencairnya yang bisa dipertimbangkan adalah tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tidak pernah berbuat kesalahan. Kesalahan adalah alami dan manusiawi sifatnya. Jika hal itu disepakati, mengapa maaf tidak kita beri kepada mereka yang telah menyesali dan telah mengoreksi aksi yang tidak terpuji kepada kita?
Mengapa kita tega membiarkan ia bersemayam di dalam hati yang bersih. Bukankah tindakan ini hanya menyiksa diri? Setiap kali bertemu dengan orang yang dibenci, bahkan hanya sandalnya saja! Kita sudah jadi benci bukan kepalang. Pertanyaannya adalah siapa sesungguhnya yang merugi? Oleh karena itu, berbesar hatilah untuk senantiasa membuka pintu maaf dan meminta maaf kepada setiap orang yang dengan tulus telah menyadari kekhilafannya. Bukankah ini praktik pemuliaan hidup yang sangat anggun?
Pemaaf Menjadi Besar
Sejarah telah mencatat dan memberikan contoh nyata tidak terbantahkan betapa mereka yang berjiwa pemaaf akhirnya menjadi orang besar yang dikenang bukan karena dianggap lemah telah memaafkan namun karena berbesar hati menerima perlakuan tidak adil pada mereka sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Mari kita lihat bagaimana seorang mantan presiden legendaris Afrika Selatan, Nelson Mandela memaafkan musuh-musuh politiknya setelah ia terpilih menjadi presiden pertama di Negara kulit hitam itu secara langsung dan demokratis.
Mandela dihukum dan dipenjarakan selama 18 tahun oleh musuh politiknya tanpa ada dakwaan yang jelas dan akurat. Dengan tabah ia menerima kenyataan fiktif itu sebagai bagian dari mata rantai perjalanan hidup yang harus dilaluinya. Begitu ia bebas dan akhirnya berhasil memenangkan pertarungan merebut kursi presiden, panglima tentara di istana bertanya padanya apakah ada musuh-musuhnya yang akan diperintahkan oleh sang presiden untuk ditangkap. Sang negarawan itu menjawab, ‘saya sudah memaafkan mereka sejak dalam penjara, oleh karena itu, biarkan sejarah yang mencatat siapa yang benar dan salah.’ Sebuah jawaban yang sarat kemuliaan dan kebesaran jiwa. Luar biasa! Akhirnya, ia dikenang sepanjang masa dan dihormati sampai hari ini bukan hanya oleh penduduk di negerinya namun juga di seluruh penjuru dunia.
Kisah para nabi yang tercatat rapi dalam kitab-kitab suci juga menjelaskan dan mencontohkan bagaimana para suciwan dan pembawa ajaran moral dan spiritual itu memberikan maaf kepada kawan mau pun lawan mereka.
Nabi Muhammad SAW memaafkan para pengkritiknya, kaum Quraish yang tidak henti-hentinya mencela, menghina bahkan memfitnahnya sebagai tukang sihir. Yesus Kristus memaafkan orang-orang yang menganiayanya. Buddha Gautama memaafkan Devadatta, salah satu murid yang mencelakainya dengan batu besar dari bukit untuk membunuhnya.
Semua kisah itu seolah memberikan contoh konkret betapa catatan kitab suci bukan hanya dipahami secara konseptual tapi juga operasional. Para nabi telah walk the talk – menjalankan apa yang diucapkan dan disabdakan. Lalu, mengapa para umat tidak mencontohnya?
Contoh-contoh itu menunjukkan kepada kita betapa dendam tidak perlu disimpan atau dibalas agar tidak menjadi mata rantai kehidupan yang tidak pernah akan selesai. Jadi, prinsip an eye for an eye and a tooth for a tooth – membalas dengan cara dan obyek yang sama – tidak berlaku disini.
Orang yang penuh dengan dendam sesungguhnya adalah orang yang merugi karena derita batinnya terus bergejolak setiap hari. Sementara orang yang didendami mungkin sudah melupakan peristiwa sedih yang menyebabkan dendam itu terjadi. Jika bahagia yang menjadi tujuan, lepaskan dendam itu dan rasakan betapa leganya ruang hati. Kelegaan itulah yang akan memicu kebahagiaan dan kemuliaan muncul. Mari memaafkan agar ruang hati kedua belah pihak menjadi lapang dan lega.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar